Selasa, 28 Maret 2017

Pisahkan Duet Kompak Nyepi dan Sampah


Om Swastyastu
Salam Budaya, Lestarikan !

Haii sahabat KPB, ketemu lagi….
Kali ini, kami dari KPB Kota Denpasar akan memberikan sedikit ulasan mengenai perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1939 yang tahun ini jatuh pada tanggal 28 Maret 2017. Jadi, sebelum menuju ulasan tersebut, kami segenap Keluarga Besar Kader Pelestari Budaya Kota Denpasar mengucapkan Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1939 bagi seluruh umat Hindu sedharma. Semoga Pada perayaan Nyepi ini kita dapat melakukan introspeksi diri mengenai apa yang telah kita lakukan dan apa yang akan kita lakukan sehingga mampu melakukan hal-hal yang lebih baik kedepannya dan terhindar dari perbuatan adharma. Astungkara. Nah, sekarang kita bakal langsung lanjut ke ulasannya jadi silahkan disimak.


“Napsumutrampurisamwasthiwanamwasamustrsjet
amedhyalipyamenyadwalohitamwawisaniwa”

---Manawa Dharmasastra IV.56---
“Hendaknya ia jangan kencing atau berak dalam air sungai, danau, danlaut,
tidak pula meludah, juga tidak boleh berkata-kata kotor,
tidak pula melemparkan sampah, darah, atau sesuatu yang berbisa dan beracun”
_____


Melihat sloka di atas yang terdapat dalam kitab Manawa Dharmasastra, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kebersihan dari lingkungan itu sendiri, dan mampu menjadikan perilaku menjaga kebersihan tersebut sebagai pedoman hidup yang senantiasa di aplikasikan ke kehidupan sehari-hari, namun nyatanya hingga kini masih saja ada masyarakat yang secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi entah secara sadar ataupun tidak sadar telah “memperkosa” lingkungannya dengan membuang sampah sembarangan, mengotori serta mencemari lingkungannya. Umat Hindu di Indonesia terkenal memiliki berbagai hari raya suci, salah satunya adalah Hari Raya Nyepi yang jatuh pada Pinanggal apisan sasih kedasa.
Pelaksanaan hari raya Nyepi merupakan suatu rutinitas tahunan bagi masyarakat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali. Pelaksanaan Hari Raya Nyepi merupakan suatu hari raya yang besar bagi umat Hindu. Besar baik dari segi kuantitas upakaranya, jumlah masyarakat yang terlibat, rentetan kegiatan upacaranya, maupun kearifan lokal budaya yang menyertainya. Besarnya hari raya ini tentunya akan menggunakan berbagai sarana upakara serta bahan sarana pendukung untuk berbagai kegiatan upacara keagamaan maupun non-keagamaan yang bersifat kearifanlokal/budaya. Penggunaan berbagai sarana tersebut tentunya akan menghasilkan produk sampingan berupa sampah. Mengingat masihnya pelaksanaan Hari Raya Nyepi ini, tentunya akan menghasilkan sampah dengan kuantitas yang masif pula di masyarakat, bahkan mencapai berlipat ganda dari sampah yang biasa dihasilkan.
Salah satu rangkaian upacara yang diselenggarakan oleh umat Hindu dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi adalah upacara Melasti atau bisa juga disebut Melis atau Mekiis. Kegiatan ini dilaksanakan pada 3-2 hari sebelum Hari Raya Nyepi. Tujuan melaksanakan upacara Melasti adalah memohon pembersihan atau mensucikan kembali seluruh komponen Bhuana Agung serta Bhuana Alit. Upacara Melasti diselenggarakan dengan mengarak segala sarana dan prasarana suci ke sumber mata air seperti danau, pantai atau sumber mata air suci lainnya.
Pelaksanaan upacara yang besar serta melibatkan banyak orang bisa dikatakan selalu menghasilkan jumlah sampah yang cukup banyak. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran dari masing-masing individu dalam menjaga keindahan lingkungannya seperti yang terlihat dalam berbagai foto berikut.
Kawasan pantai yang menjadi salah satu daya tarik utama Pulau Bali menjadi terkotori oleh sisa sarana upacara. Meskipun didominasi dengan sampah yang tergolong mudah diurai, namun banyaknya jumlah sampah tersebut pasti membutuhkan waktu yang lama dalam pembersihannya. Terlebih kegiatan ini dilakukan di berbagai pantai di Bali, hal ini tentunya akan mengurangi keindah Pulau Bali.

Rentetan kegiatan selanjutnya adalah Tawur Kesanga yang merupakan upacara caru atau Bhuta Yadnya yang dilakukan pada 1 hari sebelum Nyepi. Kegiatan ini biasanya dilakukan dari tingkat rumah, banjar, desa, dan sebagainya. Kegiatan yang besar dan terkonsentasi di berbagai titik tersebut juga akan menghasilkan jumlah sampah yang tidak sedikit. Sampahnya masih didominasi dengan sampah organik dari sarana upakara. 


Seusai melaksanaan Tawur atau caru biasanya pada malam Pengrupukan akan dilaksanakan pawai ogoh-ogoh.  Ogoh-ogoh sendiri merupakan simbolis wujud Bhuta Kala yang akan disomia (dilebur) setelah upacara mecaru, itulah sebabnya mengapa perawakan dari ogoh-ogoh cenderung seram, kejam, jorok atau sifat-sifat negative lainnya. Banyak sumber yang menjelaskan tentang cikal bakal adanya ogoh-ogoh yang pada dasarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan perayaan Nyepi, namun karena terus terjadi perkembangan pada seni, budaya, dan tradisi akhirnya mengarak ogoh-ogoh menjadi suatu tradisi yang tetap dilestarikan keberadaannya hingga saat ini.

Di Kota Denpasar pawai ogoh-ogoh biasanya dikonsentrasikan pada beberapa titik, kawasan Catur Muka misalnya. Pada titik tersebut jumlah ogoh-ogoh yang akan dipawaikan mencapai puluhan dan setiap ogoh-ogoh diusung oleh puluhan orang yang tergabung dalam Seka Truna. Selain dipadati dengan ogoh-ogoh dan Seka Truna, kawasan tersebut pastilah diramaikan pula dengan penonton dan pedagang yang menjajakan makanan, minuman atau aksesoris. Hal ini akan kembali lagi menjadi penghasil sampah yang kali ini tentunya didominasi dengan sampah anorganik seperti bekas minuman makanan atupun bahkan bagian dari ogoh-ogoh tersebut yang koyak atau terlepas. Seperti yang kita ketahui, tidak semua bahan yang digunakan dalam membuat ogoh-ogoh menggunakan bahan yang ramah lingkungan, untuk mempermudah proses pengerjaan dan memperindah bentuk ogoh-ogoh maka digunakan bahan gabus. Padahal kegiatan ini menjadi salah satu pawai unik yang menarik perhatian wisatawan domestic dan mancanegara. Apakah iya kita akan memperlihatkan mereka jalanan penuh sampah dibalik kemegahan ogoh-ogoh yang dipawaikan ? tentu saja tidak bukan.
Agar permasalahan sampah tidak menjadi permasalahan klasik tiap tahun yang terus “berduet” dengan pelaksanaan Hari Raya Nyepi, kita harus mampu merubah kebiasaan kita dan pola pikir kita mengenai sampah. Jadikan kebersihan lingkungan menjadi suatu keutamaan dalam berbagai kegiatan yang dilakukan, bahkan dalam kegiatan keagamaan sekalipun. Setelah kita mampu mengontrol diri kita sendiri, tularkanlah kepada keluarga, teman-teman dan lingkungan sekitar kita mengenai arti penting sebuah kebersihan lingkungan yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita dan minta agar mereka menyebarkan kembali kepada orang-orang yang ada di sekitar mereka. Dengan begitu, terciptanya masyarakat yang sadar akan kebersihan akan segera terwujud dan berbagai kegiatan mereka akan selalu memperhatikan kebersihan lingkungannya. Intinya, kesadaran harus dimulai dari diri sendiri dan disebarkan kepada orang lain.

Dari sisi pelaksanaan sistem, mungkin diperlukan seorang penanggung jawab yang bertugas mengawasi kebersihan di tiap-tiap banjar atau desa yang bertaggung jawab langsung terhadap Dinas Kebersihan di daerahnya. Seperti tugas seorang pengawas yang tegas dalam mengawasi berbagai kegiatan hari raya Nyepi, mungkin dapat diambil dari pecalang. Untuk menjamin profesionalitas pecalang-pecalang tersebut mungkin dapat ditukar ke tiap-tiap desa dalam mengawasi kebersihan desa tersebut dalam pelaksanaan Melasti, Tawur Kesanga, ataupun pada saat malam Pengrupukan. Desa yang terbukti gagal dalam menjaga kebersihannya berdasarkan indicator penilaian tertentu, dapat dijatuhi sangsi sebagai hukuman atas kelalaiannya menjaga kebersihan.

Selain membangun kesadaran dan membuat peraturan tentang pengamanan kebersihan, ada baiknya didukung dengan sarana yang memadai, seperti tersedianya tempat sampah di sudut-sudut kota atau di tempat pelaksanaan upacara, serta mempersiapkan truk pengangkut sampah yang siap mengangkut sampah apabila tempat sampah yang telah disebar telah penuh.

Pelaksanaan Hari Raya Nyepi yang menyelaraskan Bhuana Agung dan Bhuana Alit serta menyomya Bhuta kala tentunya harus dilakukan dengan tidak melenceng dari ajaran Tri Hita Karana  utamanya bagian palemahan yang menginginkan keharmonisan manusia dengan lingkunganya. Jangan sampai Hari Raya Nyepi yang bermakna membersihkan alam semesta malah mengotori lingkungan kita sendiri. Mari kita pisahkan duet kompak Nyepi dan sampah serta peduli pada lingkungan sekitar, dimulai dari diri sendiri dan jadikan kewajiban untuk menjaganya sebagai kewajiban bersama sebagai umat sedharma.

Sekian ulasan kami mengenai pelaksanaan Hari Raya Nyepi, semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua di Hari Raya Nyepi ini. Terima Kasih…

Salam Budaya Lestarikan !

Om Shanti Shanti Shanti Om

            foto: Instagram @denpasarkota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah menggunakan kata-kata yang sopan, tidak mengandung SARA, dan sebagai media diskusi.