Om Swastyastu
Salam Budaya,
Lestarikan !
Haii sahabat KPB,
ketemu lagi….
Kali
ini, kami dari KPB Kota Denpasar akan memberikan sedikit ulasan mengenai perayaan
Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1939 yang tahun ini jatuh pada tanggal 28 Maret
2017. Jadi, sebelum menuju ulasan tersebut, kami segenap Keluarga Besar Kader
Pelestari Budaya Kota Denpasar mengucapkan Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka
1939 bagi seluruh umat Hindu sedharma. Semoga Pada perayaan Nyepi ini kita dapat
melakukan introspeksi diri mengenai apa yang telah kita lakukan dan apa yang
akan kita lakukan sehingga mampu melakukan hal-hal yang lebih baik kedepannya dan
terhindar dari perbuatan adharma. Astungkara. Nah,
sekarang kita bakal langsung lanjut ke ulasannya jadi silahkan disimak.
amedhyalipyamenyadwalohitamwawisaniwa”
---Manawa Dharmasastra IV.56---
“Hendaknya ia jangan
kencing atau berak dalam air sungai, danau, danlaut,
tidak pula
meludah, juga tidak boleh berkata-kata kotor,
tidak
pula melemparkan sampah, darah, atau sesuatu yang berbisa dan
beracun”
_____
Melihat
sloka di atas yang terdapat dalam kitab Manawa Dharmasastra, mengingatkan kita akan
pentingnya menjaga kebersihan dari lingkungan itu sendiri, dan mampu menjadikan
perilaku menjaga kebersihan tersebut sebagai pedoman hidup yang senantiasa di
aplikasikan ke kehidupan sehari-hari, namun nyatanya hingga kini masih saja ada
masyarakat yang secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi entah secara sadar
ataupun tidak sadar telah “memperkosa” lingkungannya dengan membuang sampah sembarangan,
mengotori serta mencemari lingkungannya. Umat Hindu di Indonesia terkenal memiliki
berbagai hari raya suci, salah satunya adalah Hari Raya Nyepi yang jatuh pada Pinanggal
apisan sasih kedasa.
Pelaksanaan
hari raya Nyepi merupakan suatu rutinitas tahunan bagi masyarakat Hindu di
Indonesia, khususnya di Bali. Pelaksanaan Hari Raya Nyepi merupakan suatu hari raya
yang besar bagi umat Hindu. Besar baik dari segi kuantitas upakaranya, jumlah masyarakat
yang terlibat, rentetan kegiatan upacaranya, maupun kearifan lokal budaya yang
menyertainya. Besarnya hari raya ini tentunya akan menggunakan berbagai sarana upakara
serta bahan sarana pendukung untuk berbagai kegiatan upacara keagamaan maupun
non-keagamaan yang bersifat kearifanlokal/budaya. Penggunaan berbagai sarana tersebut
tentunya akan menghasilkan produk sampingan berupa sampah. Mengingat masihnya pelaksanaan
Hari Raya Nyepi ini, tentunya akan menghasilkan sampah dengan kuantitas yang
masif pula di masyarakat, bahkan mencapai berlipat ganda dari sampah yang biasa
dihasilkan.
Salah
satu rangkaian upacara yang diselenggarakan oleh umat Hindu dalam rangka
menyambut Hari Raya Nyepi adalah upacara Melasti atau bisa juga disebut Melis
atau Mekiis. Kegiatan ini dilaksanakan pada 3-2 hari sebelum Hari Raya Nyepi. Tujuan
melaksanakan upacara Melasti adalah memohon pembersihan atau mensucikan kembali
seluruh komponen Bhuana Agung serta Bhuana Alit. Upacara Melasti diselenggarakan
dengan mengarak segala sarana dan prasarana suci ke sumber mata air seperti
danau, pantai atau sumber mata air suci lainnya.
Pelaksanaan
upacara yang besar serta melibatkan banyak orang bisa dikatakan selalu
menghasilkan jumlah sampah yang cukup banyak. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran
dari masing-masing individu dalam menjaga keindahan lingkungannya seperti yang
terlihat dalam berbagai foto berikut.
Kawasan
pantai yang menjadi salah satu daya tarik utama Pulau Bali menjadi terkotori oleh
sisa sarana upacara. Meskipun didominasi dengan sampah yang tergolong mudah
diurai, namun banyaknya jumlah sampah tersebut pasti membutuhkan waktu yang
lama dalam pembersihannya. Terlebih kegiatan ini dilakukan di berbagai pantai
di Bali, hal ini tentunya akan mengurangi keindah Pulau Bali.
Rentetan kegiatan selanjutnya adalah Tawur Kesanga yang
merupakan upacara caru atau Bhuta Yadnya yang dilakukan pada 1 hari sebelum Nyepi.
Kegiatan ini biasanya dilakukan dari tingkat rumah, banjar, desa, dan sebagainya.
Kegiatan yang besar dan terkonsentasi di berbagai titik tersebut juga akan menghasilkan
jumlah sampah yang tidak sedikit. Sampahnya masih didominasi dengan sampah
organik dari sarana upakara.
Seusai
melaksanaan Tawur atau caru biasanya pada malam Pengrupukan akan dilaksanakan
pawai ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh sendiri merupakan
simbolis wujud Bhuta Kala yang akan disomia (dilebur) setelah upacara mecaru,
itulah sebabnya mengapa perawakan dari ogoh-ogoh cenderung seram, kejam, jorok
atau sifat-sifat negative lainnya. Banyak sumber yang menjelaskan tentang cikal
bakal adanya ogoh-ogoh yang pada dasarnya tidak memiliki hubungan langsung
dengan perayaan Nyepi, namun karena terus terjadi perkembangan pada seni,
budaya, dan tradisi akhirnya mengarak ogoh-ogoh menjadi suatu tradisi yang
tetap dilestarikan keberadaannya hingga saat ini.
Di
Kota Denpasar pawai ogoh-ogoh biasanya dikonsentrasikan pada beberapa titik,
kawasan Catur Muka misalnya. Pada titik tersebut jumlah ogoh-ogoh yang akan dipawaikan
mencapai puluhan dan setiap ogoh-ogoh diusung oleh puluhan orang yang tergabung
dalam Seka Truna. Selain dipadati dengan ogoh-ogoh dan Seka Truna, kawasan
tersebut pastilah diramaikan pula dengan penonton dan pedagang yang menjajakan
makanan, minuman atau aksesoris. Hal ini akan kembali lagi menjadi penghasil sampah
yang kali ini tentunya didominasi dengan sampah anorganik seperti bekas minuman
makanan atupun bahkan bagian dari ogoh-ogoh tersebut yang koyak atau terlepas.
Seperti yang kita ketahui, tidak semua bahan yang digunakan dalam membuat
ogoh-ogoh menggunakan bahan yang ramah lingkungan, untuk mempermudah proses
pengerjaan dan memperindah bentuk ogoh-ogoh maka digunakan bahan gabus. Padahal
kegiatan ini menjadi salah satu pawai unik yang menarik perhatian wisatawan
domestic dan mancanegara. Apakah iya kita akan memperlihatkan mereka jalanan penuh
sampah dibalik kemegahan ogoh-ogoh yang dipawaikan ? tentu saja tidak bukan.
Agar
permasalahan sampah tidak menjadi permasalahan klasik tiap tahun yang terus
“berduet” dengan pelaksanaan Hari Raya Nyepi, kita harus mampu merubah kebiasaan
kita dan pola pikir kita mengenai sampah. Jadikan kebersihan lingkungan menjadi
suatu keutamaan dalam berbagai kegiatan yang dilakukan, bahkan dalam kegiatan keagamaan
sekalipun. Setelah kita mampu mengontrol diri kita sendiri, tularkanlah kepada
keluarga, teman-teman dan lingkungan sekitar kita mengenai arti penting sebuah kebersihan
lingkungan yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita dan minta agar
mereka menyebarkan kembali kepada orang-orang yang ada di sekitar mereka.
Dengan begitu, terciptanya masyarakat yang sadar akan kebersihan akan segera terwujud
dan berbagai kegiatan mereka akan selalu memperhatikan kebersihan lingkungannya.
Intinya, kesadaran harus dimulai dari diri sendiri dan disebarkan kepada orang
lain.
Dari
sisi pelaksanaan sistem, mungkin diperlukan seorang penanggung jawab yang
bertugas mengawasi kebersihan di tiap-tiap banjar atau desa yang bertaggung jawab
langsung terhadap Dinas Kebersihan di daerahnya. Seperti tugas seorang pengawas
yang tegas dalam mengawasi berbagai kegiatan hari raya Nyepi, mungkin dapat diambil
dari pecalang. Untuk menjamin profesionalitas pecalang-pecalang tersebut mungkin
dapat ditukar ke tiap-tiap desa dalam mengawasi kebersihan desa tersebut dalam pelaksanaan
Melasti, Tawur Kesanga, ataupun pada saat malam Pengrupukan. Desa yang terbukti
gagal dalam menjaga kebersihannya berdasarkan indicator penilaian tertentu,
dapat dijatuhi sangsi sebagai hukuman atas kelalaiannya menjaga kebersihan.
Selain
membangun kesadaran dan membuat peraturan tentang pengamanan kebersihan, ada
baiknya didukung dengan sarana yang memadai, seperti tersedianya tempat sampah
di sudut-sudut kota atau di tempat pelaksanaan upacara, serta mempersiapkan
truk pengangkut sampah yang siap mengangkut sampah apabila tempat sampah yang
telah disebar telah penuh.
Pelaksanaan
Hari Raya Nyepi yang menyelaraskan Bhuana Agung dan Bhuana Alit serta menyomya Bhuta kala tentunya harus dilakukan
dengan tidak melenceng dari ajaran Tri Hita Karana utamanya bagian palemahan yang menginginkan keharmonisan manusia dengan lingkunganya.
Jangan sampai Hari Raya Nyepi yang bermakna membersihkan alam semesta malah mengotori
lingkungan kita sendiri. Mari kita pisahkan duet kompak Nyepi dan sampah serta peduli
pada lingkungan sekitar, dimulai dari diri sendiri dan jadikan kewajiban untuk menjaganya
sebagai kewajiban bersama sebagai umat sedharma.
Sekian
ulasan kami mengenai pelaksanaan Hari Raya Nyepi, semoga dapat memberikan manfaat
bagi kita semua di Hari Raya Nyepi ini. Terima Kasih…
Salam
Budaya Lestarikan !
Om
Shanti Shanti Shanti Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah menggunakan kata-kata yang sopan, tidak mengandung SARA, dan sebagai media diskusi.