Senin, 21 Januari 2019

SATYA YOWANA KRTA BHUWANA (Kesetiaan Remaja dalam Menjaga Komitmennya untuk Mencapai Kehidupan yang Lebih Baik)



Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan bisnis di Bali menjadi “pintu masuk” bagi berbagai nilai-nilai kebudayaan yang dibawa oleh pendatang baik kebudayaan yang sifatnya individual dari pendatang tersebut ataupun kebudayaan komunal yang bersumber dari daerah asal pendatang tersebut. Tantangan pelestarian kebudayaan di Kota Denpasar, jika kita lihat dua hingga tiga dekade kebelakang tentunya masih didominasi oleh faktor-faktor internal dari sitem masyarakat itu sendiri. Hal ini disebabkan nilai- nilai budaya asing masih memiliki akses yang sangat terbatas untuk masuk dan mempengaruhi nilai nilai budaya asli, sehingga faktor-faktor internal yang dalam hal ini kebudayaan individual-lah yang menjadi ancaman bagi kebudayaan komunal asli itu sendiri yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Ancaman yang disebabkan kebudayaan-kebudayaan individual ini tentu tidak bersifat masif, melainkan hanya diperlukan pendekatan personal dalam menanggulanginya.

Beberapa tahun kebelakang, tantangan pelestarian kebudayaan tidak hanya disebabkan kebudayaan-kebudayaan individual yang muncul di masyarakat, namun juga faktor eksternal yaitu kebudayaan-kebudayaan komunal asing dari tempat lain yang dibawa masuk oleh modernisasi dan globalisasi dan mempengaruhi kebudayaan komunal asli beserta individu-individu yang ada didalamnya. Hal inilah yang menjadi tantangan besar kedepannya dalam pelestarian kebudayaan, dimana kita tidak hanya dihadapi oleh ancaman dari faktor internal dalam kebudayaan asli, melainkan juga dari faktor eksternal yaitu kebudayaan komunal asing beserta nilai-nilai kebudayaan individual dari kebudayaan asing tersebut.

Ancaman dalam pelestarian budaya tentunya wajib diantisipasi oleh seluruh individu yang ada dalam sistem kebudayaan tersebut, namun generasi muda-lah yang menjadi ujung tombak dalam pelestariannya. Ancaman terhadap pelestarian budaya tersebut sudah mampu diantisipasi dengan baik oleh berbagai pihak, baik oleh Pemerintah Kota Denpasar maupun oleh masyarakatnya. Namun seiring berjalannya waktu, generasi muda sebagai ujung tombak mulai kehilangan ketajamannya untuk mengimbangi ancaman yang muncul.

Usia remaja yang masih sangat aktif dan berkembang baik dalam fisik maupun pemikiran diharapkan akan mampu menyumbangkan pemikiran dan tenaganya bagi pelestarian kebudayaaan. Pelestarian kebudayaan membutuhkan usaha dari remaja-remaja yang setia pada komitmen. Remaja yang setia pada komitmennya adalah remaja yang mampu mengontrol dan memusatkan segala usahanya baik dari segi fisik, emosional, dan pemikiran dengan stabil dalam tujuanya mencapai tujuan tertentu.

Remaja yang memiliki kesetiaan terhadap komitmennya, tidak akan mudah terpengaruh oleh gangguan-gangguan yang mencoba mengalihkan tujuannya. Remaja seperti ini secara tidak langsung akan memiliki pengendalian diri yang kuat bagi dari segi fisik (bayu), emosional/komunikasi (sabda), dan pemikiran/spiritual (idep). Bayu, sabda, dan idep dari remaja tersebut akan mampu dimaksimalkan dalam usaha mencapai tujuannya. Komitmen pada remaja dapat merepresentasikan jati diri dari remaja itu sendiri. Seorang remaja yang memiliki komitmen, memiliki kesungguhan hati terhadap apa tujuan yang dikehendakinya, mencerminkan seorang remaja yang memiliki jati diri yang kuat. Jati diri inilah yang menjadi penentu bagi remaja apakah remaja tersebut akan mudah terpengaruh oleh godaan-godaan selama masa brahmacari-nya yang menyebabkan ia terjatuh pada berbagai hal-hal negatif dan kegelapan diri, ataukah ia mampu menjaga keteguhan jati dirinya sehingga mampu menjadikan masa brahmacari ini sebagai masa-masa mengembangkan diri dari aspek tri pramana (bayu, sabda, dan idep) secara maksimal.

Masa remaja adalah masa pencarian jati diri atau dapat dikatakan masa remaja adalah masa pembentukan komitmen itu sendiri. Keadaan emosional yang masih bergejolak dan belum stabil, menyebabkan remaja sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai hal baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal hal yang bersifat negatif inilah yang menyebabkan seorang remaja tersesat dalam kenikmatan sementara, mudah terbuai oleh bujuk rayu dari teman-temannya yang sudah tersesat lebih dahulu, sehingga menyebabkan seorang remaja kesulitan menemukan komitmen dalam dirinya.

Setiap orang pasti memiliki optimisme ketika mulai memasuki fase remaja. Optimisme tentang bagaimana ia menyongsong masa depannya kelak dengan kesuksesan diri, cita cita yang tercapai, dan menjadi kebanggan bagi keluarga dan bangsa. Namun tidak sedikit yang gagal mencapai tujuannya karena dimasa remajanya ia tersesat dan tidak mampu menjaga optimisme awalnya sebagai komitmen terhadap dirinya sendiri. Komitmen diri tersebut perlu diilhami sebagai kejujuran terhadap dirinya sendiri tentang apa yang harus dilakukannya dan apa yang harus dihindarinya tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Ketika seorang remaja telah mampu jujur terhadap dirinya sendiri, mampu mendengar hati kecilnya yang membisikkan optimisme diri yang pernah ia pegang teguh, dan mampu mengabaikan segala godaan dalam mencapai tujuannya, makai ia telah memiliki komitmen, setidaknya pada dirinya sendiri.

Kesetiaan (satya) terhadap komitmen diri, merupakan kunci dari terbukanya taksu pada diri masing-masing orang. Taksu sebagai energi yang berasal dari dalam diri yang mampu membuat sesuatu menjadi lebih hidup, merupakan titik maksimum dari kualitas suatu usaha yang dilakukan. Taksu merupakan anugerah tentang penjiwaan terhadap suatu hal yang kita lakukan. Hal tersebut bisa didapat dari dua acara yaitu Jnana dan Bhakti. Jnana adalah anugerah taksu yang diberikan secara langsung oleh tuhan melalui jalan-jalan spiritual yang tinggi sedangkan Bhakti adalah anugerah taksu yang bisa didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan hal yang kita upayakan.

Taksu biasanya diketahui berkaitan dengan kesenian, namun peran taksu tak hanya sebatas pada kesenian semata. Taksu dapat muncul pada berbagai profesi dan berbagai kegiatan yang kita lakukan sehari hari. Hal ini karena taksu merupakan hasil dari kerja keras. Taksu akan muncul apabila seseorang berkomitmen (satya) pada tujuannya, bersungguh sungguh dalam mencapainya, dan mampu mengoptimalkan tri pramana yang dimilikinya yang meliputi bayu (kemampuan fisik), sabda (kemampuan emosional dan komunikasi), dan idep (kemampuan intelektual dan spiritual). Kesetiaan terhadap komitmen dan jati dirinya sendiri ditunjang dengan penguasaan tri pramana yang baik akan mampu membuat remaja kota Denpasar mengerti akan swadharma-nya masing- masing dalam perannya untuk menjawab tantangan pelestarian budaya di Kota Denpasar.

Kemah Budaya XI Kota Denpasar mengangkat tema “Satya Yowana Krta Bhuwana” yang berarti “Kesetiaan Remaja dalam Menjaga Komitmennya untuk Mencapai Kehidupan yang Lebih Baik”. Tema tersebut diharapkan mampu membuat remaja sadar akan jati dirinya sendiri dan memiliki komitmen dalam mencapai tujuannya. Apabila seorang remaja telah mampu mencapai hal tersebut, ia akan mengerti dan sadar akan swadharma-nya sehingga akan bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kewajibannya. Selain itu, remaja yang sadar akan dirinya dan mengupayakan swadharma-nya dengan optimal, akan mampu memancarkan taksu di dalam dirinya sehingga membuat segala sesuatu yang dikerjakan menjadi sangat bernyawa, dan terjiwai dengan baik oleh dirinya sendiri sehingga potensi yang dimilik i remaja tersebut akan mampu dikeluarkan secara optimal.

Kemah Budaya XI Kota Denpasar memilih lokasi perkemahan di kawasan Banjar Kelandis, Desa Sumerta Kauh, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar . Banjar Kelandis dipilih menjadi lokasi perkemahan, karena di banjar ini terdapat berbagai kegiatan remaja yang mampu mengoptimalkan tri pramana yang mereka miliki. Berbagai pelatihan dan pembelajaran kepada generasi muda di Banjar Kelandis membuat remaja di Banjar Kelandis memiliki pengendalian diri yang baik, sehingga mampu mengeluarkan potensi yang mereka miliki dengan baik, dan berkontribusi dengan baik dalam berbagai kegiatan di Banjar Kelandis. Banjar Kelandis memiliki sekaa teruna teruni yang bernama STT Satma Cita. STT Satma Cita merupakan wadah bagi remaja Banjar Kelandis untuk mengoptimalkan potensi yang mereka miliki, baik dalam hal kesenian, kemasyarakatan, maupun kerorganisasian sehingga mampu berkontribusi bagi pembangunan di Banjar Kelandis. Dengan diambilnya lokasi perkemahan di Banjar Kelandis, diharapkan peserta Kemah Budaya XI Kota Denpasar mampu melihat dan mengambil contoh dari hal-hal positif yang telah dilakukan generasi muda di Banjar Kelandis, dan mampu mengamalkannya di daerah asal peserta berasal. Selain itu, peserta juga diharapkan mampu setia pada komitmen yang dimilikinya, sehingga mampu mengoptimalkan tri pramana yang mereka miliki, dan mengeluarkan taksu yang ada di diri mereka.

Secara sederhana, melalui tema ini diharapkan peserta Kemah Budaya XI Kota Denpasar mampu satya terhadap apapun yang mereka lakukan. Satya tak hanya dilakukan pada hal-hal besar terkait tujuan besar ataupun cita-cita, namun juga hal- hal kecil yang biasa kita lakukan sehari-hari. Remaja juga dapat satya pada hal yang mereka sukai, pada hal yang mereka gemari, namun yang perlu selalu diingat dan ditanyakan didalam hati, apakah kegiatan yang mereka komitmenkan tersebut, akan mampu menciptakan krta bhuana, menciptakan suatu kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Kota Denpasar.

Tujuan Kemah Budaya XI Kota Denpasar ini adalah sebagai dasar untuk membentuk remaja-remaja Kota Denpasar yang berkomitmen, berjati diri, dan mampu mengeluarkan taksu yang mereka miliki. Apabila komitmen tersebut mampu dijaga dan diiringi dengan usaha-usaha yang me-taksu dalam menggapainya, maka remaja tersebut, kelak juga akan mampu memberikan usaha-usahanya bagi pelestarian kebudayan di Kota Denpasar, dan berkontribusi bagi pembangunan di Kota Denpasar. Rasa memiliki terhadap Kota Denpasar tersebut dimasa mendatang akan mampu menjaga kearifan sosial-budaya masyarakat Kota Denpasar sehingga tetap ajeg dan lestari.

Diharapkan melalui kemah budaya XI Kota Denpasar ini calon kader pelestari budaya Kota Denpasar, kader pelestari budaya Kota Denpasar serta remaja di Kota Denpasar bisa lebih menyadari akan pentingnya penjiwaan atau kesadaran terhadap kesetian diri mereka baik dalam hal fisik/perbuatan (bayu), emosional/komunikasi (sabda) dan pemikiran/spiritual (idep) untuk semakin berkomitmen sehingga mampu memunculkan taksu atau penjiwaan diri dalam berperan dan berguna sesuai dengan swadharma-nya masing-masing dalam menjawab tantangan pelestarian budaya yang semakin besar di Kota Denpasar.

Refrensi:
Dibia, I Wayan. 2012. Taksu Dalam Seni dan Kehidupan Bali. Denpasar: Bali Mangsi.
              Sumber Gambar:
              Dokumen KPB 2018

             I GEDE JAYA WIADNYANA
             MAHASISWA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
             (INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG)
 ANGGOTA KADER PELESTARI BUDAYA KOTA DENPASAR ANGKATAN IX