Minggu, 18 Maret 2018

Bagaimana Wanita Bali Memperkokoh Nilai Budaya di Era Masa Kini?



Jika seseorang berkata bahwa wanita Bali masih keterbelakangan dibandingkan pria di bidang pendidikan, karir, pekerjaan, atau dunia politik tentu akan sulit untuk dibantah. Fakta yang ada dimasyarakat dengan sangat mudah mendukung bahwa pendapat tersebut memang benar (Darma Putra, 2007). Tapi, kalau ada yang mengatakan bahwa wanita Bali hanya berpangku tangan tanpa memperjuangkan nasibnya dalam hal sosial tentu ini keliru. Darma Putra juga mengatakan bahwa bukti tertulis menunjukan wanita Bali sudah aktif berbicara sejak masa kolonial guna memperjuangkan harkat serta martabatat kaumnya. Hal ini lihat dari publikasi-publikasi tahun 1920-an dan 1930-an yang banyak memuat artikel yang ditulis oleh wanita. Adanya tulisan tersebut wanita Bali menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi kaumnya.  Wanita Bali tak hanya bicara namun juga langsung terjun dengan melaksanakan aksi nyata sebagai program pembrantasan buta huruf. Hal ini dilakukan agar dapat menolong kaumnya untuk bisa membaca dan menulis serta sadar akan arti pentingnya kemajuan zaman.
Darma Putra dalam tulisannya juga mangatakan bahwa seorang wanita Bali, Nona Anak Agung Rai yang sebagai wakil ketua Poetri Bali Sadar, melontarkann pidatonya pada kongres II Bali Darma Laksana, 24 Juli 1938 di Denpasar yang menyerukan “jangan dianggap barang tak berguna”. Nona Rai diawal pidatonya membedakan sifat-sifat dan kodrat antara wanita dan pria. Menurutnya pria sering dianggap lebih cerdas dan memiliki ketajaman otak sedangkan wanita dianggap sebagai sumbernya perasaan. Dengan watak dan kodrat yang dibedakan, namun wanita dan pria memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang sama beratnya. Memberikan keturunan menjadi suatu hal utama yang diwajibkan dalam menjadi kodrat sebagai seorang wanita. Kewajiban yang kedua ialah berkaitan dengan diri sendiri, Nona Rai berpendapat bahwa wanita harus menjaga kesehatan jasmani dengan menari menggerakan badan untuk melepaskan sikap bermalas-malasan dan juga kesehatan rohani dengan kewajiban menuntut pendidikan budi pekerti karena peran wanita kelak sebagai guru dan pimpinan turunan. Nona Rai sangat berpegang teguh dalam pahamnya bahwasanya watak dan kesuksesan seorang anak sangat ditentukan oleh pendidikan serta kemampuan kaum ibu dalam mendidiknya. Inilah yang menjadi ketangguhan dan tanggung jawab besar wanita Bali.
            Ketangguhan wanita Bali juga dirasakan seorang pengajar Program Studi Desain Produk di Institut Teknologi Nasional Bandung, Bram Palgunadi, yang berpandangan bahwa wanita bali secara umum lebih tangguh dari pada pria. Ini terbukti dari sebagian besar pekerjaan sehari-hari yang relatif berat dilakukan oleh wanita. Sementara pria umumnya mengerjakan yang lebih ringan. Bram Palgunadi, sebagai orang luar, mengganggap wanita bali amat kuat sehingga beliau sangat menghormati wanita Bali. Sebab peran itu bisa saja tidak terjadi di daerah lain. Ini terbukti saat menjelang hari suci umat hindu, misalnya hari suci Galungan atau Kuningan. Dimana pekerjaan wanita sangat banyak dalam menyiapkan segala keperluan seperti membuat tape ketan, jaje (jajan/snack), banten (sesajen), jejaitan (yang terbuat dari janur), dan terakhir sampai mebanten (mengaturkan). Sedangkan pria hanya membuat makanan khas bali yakni lawar dan membuat penjor. Bram Palgunadi juga mengatakan bahwa wanita bali memiliki tubuh yang sensual, menarik saat tampil. Dari yang masih anak-anak hingga yang sudah tua. Selain itu, wanita bali selalu terlihat enerjik. Sehingga tidak sedikit orang luar bali yang menikahi wanita bali, termasuk orang asing. Belakangan ini, peran wanita bali jauh melewati peran pria. Contohnya diberbagai pagelaran seni seperti kerawitan yang menggunakan gender wayang dimainkan dengan sangat cantik oleh wanita mulai dari remaja sampai dewasa.
Wanita Bali yang tangguh dapat juga kita lihat pada video-video klasik tahun 1900-an, yang kala itu wanita Bali menjungjung (nyuun) benda yang berat dan tinggi diatas kepalanya. Membawa pajengan atau gebogan untuk sesajen dan berjalan menuju pura yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Bahkan hal seperti itu bisa kita lihat dewasa ini pada saat Ngusaba Goreng (upacara mempersembahkan sesajen dalam wujud rasa syukur kehadapan Tuhan) yang dilaksakana pada hari tertentu dengan menggunakan ala ayuning dewasa atau hari baik di daerah Karangasem, Desa Selat, Banjar Padangaji Kawan. Di era masa kini Wanita Bali bukan hanya melaksanakan ritual keagamaan, tetapi juga ikut serta dalam mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarganya tanpa memilih-milih pekerjaan dengan catatan asal bisa dikerjakan pasti dilakukan. Seperti menjadi tukang angkut pasir, buruh bangunan, tukang cat, atau tukang angkat batako. Bahkan seorang nenek paruh baya berjualan canang setiap sore dipinggir jalan untuk mengisi sisa hidup yang tidak ingin bergantung pada anak dan menantunya.
            Dalam perspektif masa kini, budaya bali berubah mengikuti zaman yang bersifat universal. Bukan hanya pada ritual keagamaan namun juga pada fashion atau penampilan dalam berbusana. Dimana zaman tempo dulu wanita bali hanya menggunakan kamen dengan selendang yang dikaitkan pada leher. Menurut Wasudewa Bhattacarya dalam blog pribadinya mengenai tata busana, tata busana dalam wanita Bali terbagi ke dalam tiga bagian, yakni tata busana adat nista yang digunakan rakyat biasa seperti kamen dengan selendang yang dikaitkan di leher, adat madya yang digunakan untuk sembahyang seperti kamen, kebaya, serta selendang, dan adat agung yang hanya digunakan oleh keluarga raja. Namun kemajuan zaman yang lebih mengikuti budaya barat memberi sedikit perubahan pada tata dalam berbusana. Adat nista (mengenakan kamen dengan atasan baju kaos dan diikat selendang pada perut) yang kini digunakan saat ngayah (kerja tanpa mengharapkan upah) di pura tanpa memandang kasta, adat madya digunakan untuk upacara keagamaan seperti sembahyang, dan adat agung digunakan dalam upacara keagamaan Manusa Yadnya seperti potong gigi (mesangih) dan pernikahan (pawiwahan) serta dilengkapi dengan aksesoris. 
Kemajuan zaman merupakan manifestasi perubahan yang tidak dapat dihindari. Seperti budaya dan manusia yang tidak bersifat statis, tanpa mengalami suatu perubahan. Namun wanita Bali tetap kokoh mempertahankan nilai budaya yang telah menjadi warisan turun temurun.

Daftar Pustaka:
Darma Putra, I Nyoman.2007. Wanita Bali Tempo Doeloe. Denpasar : Pustaka Larasan
Bhattacarya, Wasudewa.2012. Makna dan Penggunaan Busana Adat Bali ke Pura. <http://acaryawasu.blogspot.co.id/2012/11/tatwa-busana-adat-bali-makna-dan.html>. dilihat 17 Oktober 2017

NI KADEK BUDI ARSANI

MAHASISWI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
ANGGOTA KADER PELESTARI BUDAYA KOTA DENPASAR