Jika seseorang berkata
bahwa wanita Bali masih keterbelakangan dibandingkan pria di bidang pendidikan,
karir, pekerjaan, atau dunia politik tentu akan sulit untuk dibantah. Fakta
yang ada dimasyarakat dengan sangat mudah mendukung bahwa pendapat tersebut
memang benar (Darma Putra, 2007).
Tapi, kalau ada yang mengatakan bahwa wanita Bali hanya berpangku tangan tanpa
memperjuangkan nasibnya dalam hal sosial tentu ini keliru. Darma Putra juga
mengatakan bahwa bukti tertulis menunjukan wanita Bali sudah aktif berbicara
sejak masa kolonial guna memperjuangkan harkat serta martabatat kaumnya. Hal
ini lihat dari publikasi-publikasi tahun 1920-an dan 1930-an yang banyak memuat
artikel yang ditulis oleh wanita. Adanya tulisan tersebut wanita Bali
menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi kaumnya. Wanita Bali tak hanya bicara namun juga
langsung terjun dengan melaksanakan aksi nyata sebagai program pembrantasan
buta huruf. Hal ini dilakukan agar dapat menolong kaumnya untuk bisa membaca
dan menulis serta sadar akan arti pentingnya kemajuan zaman.
Darma Putra dalam
tulisannya juga mangatakan bahwa seorang wanita Bali, Nona Anak Agung Rai yang
sebagai wakil ketua Poetri Bali Sadar, melontarkann pidatonya pada kongres II
Bali Darma Laksana, 24 Juli 1938 di Denpasar yang menyerukan “jangan dianggap
barang tak berguna”. Nona Rai diawal pidatonya membedakan sifat-sifat dan
kodrat antara wanita dan pria. Menurutnya pria sering dianggap lebih cerdas dan
memiliki ketajaman otak sedangkan wanita dianggap sebagai sumbernya perasaan.
Dengan watak dan kodrat yang dibedakan, namun wanita dan pria memiliki tanggung
jawab dan kewajiban yang sama beratnya. Memberikan keturunan menjadi suatu hal
utama yang diwajibkan dalam menjadi kodrat sebagai seorang wanita. Kewajiban
yang kedua ialah berkaitan dengan diri sendiri, Nona Rai berpendapat bahwa
wanita harus menjaga kesehatan jasmani dengan menari menggerakan badan untuk
melepaskan sikap bermalas-malasan dan juga kesehatan rohani dengan kewajiban
menuntut pendidikan budi pekerti karena peran wanita kelak sebagai guru dan
pimpinan turunan. Nona Rai sangat berpegang teguh dalam pahamnya bahwasanya
watak dan kesuksesan seorang anak sangat ditentukan oleh pendidikan serta
kemampuan kaum ibu dalam mendidiknya. Inilah yang menjadi ketangguhan dan
tanggung jawab besar wanita Bali.
Ketangguhan
wanita Bali juga dirasakan seorang pengajar Program Studi Desain Produk di
Institut Teknologi Nasional Bandung, Bram Palgunadi, yang berpandangan bahwa
wanita bali secara umum lebih tangguh dari pada pria. Ini terbukti dari
sebagian besar pekerjaan sehari-hari yang relatif berat dilakukan oleh wanita.
Sementara pria umumnya mengerjakan yang lebih ringan. Bram Palgunadi, sebagai
orang luar, mengganggap wanita bali amat kuat sehingga beliau sangat
menghormati wanita Bali. Sebab peran itu bisa saja tidak terjadi di daerah
lain. Ini terbukti saat menjelang hari suci umat hindu, misalnya hari suci
Galungan atau Kuningan. Dimana pekerjaan wanita sangat banyak dalam menyiapkan
segala keperluan seperti membuat tape ketan,
jaje (jajan/snack), banten (sesajen), jejaitan (yang terbuat dari janur), dan terakhir sampai mebanten (mengaturkan). Sedangkan pria
hanya membuat makanan khas bali yakni lawar dan membuat penjor. Bram Palgunadi juga mengatakan bahwa wanita bali memiliki
tubuh yang sensual, menarik saat tampil. Dari yang masih anak-anak hingga yang
sudah tua. Selain itu, wanita bali selalu terlihat enerjik. Sehingga tidak
sedikit orang luar bali yang menikahi wanita bali, termasuk orang asing. Belakangan
ini, peran wanita bali jauh melewati peran pria. Contohnya diberbagai pagelaran
seni seperti kerawitan yang menggunakan gender wayang dimainkan dengan sangat
cantik oleh wanita mulai dari remaja sampai dewasa.
Wanita Bali yang
tangguh dapat juga kita lihat pada video-video klasik tahun 1900-an, yang kala
itu wanita Bali menjungjung (nyuun)
benda yang berat dan tinggi diatas kepalanya. Membawa pajengan atau gebogan
untuk sesajen dan berjalan menuju pura yang jaraknya cukup jauh dari rumah.
Bahkan hal seperti itu bisa kita lihat dewasa ini pada saat Ngusaba Goreng (upacara mempersembahkan
sesajen dalam wujud rasa syukur kehadapan Tuhan) yang dilaksakana pada hari
tertentu dengan menggunakan ala ayuning
dewasa atau hari baik di daerah Karangasem, Desa Selat,
Banjar Padangaji Kawan. Di era masa
kini Wanita Bali bukan hanya melaksanakan ritual keagamaan, tetapi juga ikut serta
dalam mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarganya tanpa memilih-milih
pekerjaan dengan catatan asal bisa dikerjakan pasti dilakukan. Seperti menjadi
tukang angkut pasir, buruh bangunan, tukang cat, atau tukang angkat batako.
Bahkan seorang nenek paruh baya berjualan canang
setiap sore dipinggir jalan untuk mengisi sisa hidup yang tidak ingin
bergantung pada anak dan menantunya.
Dalam
perspektif masa kini, budaya bali berubah mengikuti zaman yang bersifat
universal. Bukan hanya pada ritual keagamaan namun juga pada fashion atau penampilan dalam berbusana.
Dimana zaman tempo dulu wanita bali hanya menggunakan kamen dengan selendang
yang dikaitkan pada leher. Menurut Wasudewa Bhattacarya dalam blog pribadinya mengenai tata busana, tata
busana dalam wanita Bali terbagi ke dalam tiga bagian, yakni tata busana adat
nista yang digunakan rakyat biasa seperti kamen dengan selendang yang dikaitkan
di leher, adat madya yang digunakan untuk sembahyang seperti kamen, kebaya,
serta selendang, dan adat agung yang hanya digunakan oleh keluarga raja. Namun
kemajuan zaman yang lebih mengikuti budaya barat memberi sedikit perubahan pada
tata dalam berbusana. Adat nista (mengenakan kamen dengan atasan baju kaos dan
diikat selendang pada perut) yang kini digunakan saat ngayah (kerja tanpa mengharapkan upah) di pura tanpa memandang
kasta, adat madya digunakan untuk upacara keagamaan seperti sembahyang, dan
adat agung digunakan dalam upacara keagamaan Manusa Yadnya seperti potong gigi
(mesangih) dan pernikahan (pawiwahan) serta dilengkapi dengan
aksesoris.
Kemajuan zaman
merupakan manifestasi perubahan yang tidak dapat dihindari. Seperti budaya dan
manusia yang tidak bersifat statis, tanpa mengalami suatu perubahan. Namun wanita
Bali tetap kokoh mempertahankan nilai budaya yang telah menjadi warisan turun
temurun.
Daftar Pustaka:
Darma
Putra, I Nyoman.2007. Wanita Bali Tempo
Doeloe. Denpasar : Pustaka Larasan
Bhattacarya,
Wasudewa.2012. Makna dan Penggunaan
Busana Adat Bali ke Pura. <http://acaryawasu.blogspot.co.id/2012/11/tatwa-busana-adat-bali-makna-dan.html>. dilihat 17 Oktober 2017
NI KADEK BUDI ARSANI
MAHASISWI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
ANGGOTA KADER PELESTARI BUDAYA KOTA DENPASAR
NI KADEK BUDI ARSANI
MAHASISWI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
ANGGOTA KADER PELESTARI BUDAYA KOTA DENPASAR